Multietnik Dalam Konteks Integrasi Nasional

Dengan 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6000 di antaranya tidak berpenghuni,dengan suku-bangsa lebih dari 400dan budayanya masing-masing , tentu mewujudkan integrasi nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia masih menjadi hal serius bagi bangsa Indonesia. Apalagi dalam dua dasawarsa terakhir primordialisme kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan,semakin meningkat. Oleh banyak kalangan, hal ini dinilai sebagai pertanda memudarnya semangat kebangsaan,sesuatu yang amat vital bagi tegaknya Indonesia sebagai negara bangsa (nation state). Dari masalah itu selanjutnya timbul pertanyaan , sebenarnya di mana posisi keberagaman budaya di dalam sebuah integritas bangsa? Berkaca pada angkatan 45yang sukses merangkul semua golongan untuk memproklamirkan NKRI, setidaknya ada dua hal yang dapat diambil sebagai faktor dari suksesnya angkatan 45 tadi, yaitu:

1. Adanya satu tujuan nasional, Dengan tertanamnya perasan semacam ini maka dapat dipahami jika ratusan suku di Indonesia mampu menghilangkan egoisme pribadi dan mau bersama-sama memperjuangkan NKRI, karena bagaimanapun di dalam kehidupan yang plural seperti Indonesia perasaan semacam ini dibutuhkan karena dapat menjadi sebuah pengikat batin yang cukup kuat.

2. Perasaan satu rasa, satu nasib, Salah satu strategi bung karno di dalam menyebarkan keindonesiaan adalah dengan menggunakan pendekatan psikologis , yaitu dengan menanamkan satu rasa satu nasib, sehingga dengan kemampuan pidatonya, bung karno dapat meyakinkan semua golongan dari berbagai macam latar belang. Sehingga terbentuk suatu perasaan yang kuat di semua orang apa pun itu sukunya.

Jadi, sebenarnya dapat diambil suatu benang merah bahwa multietnik bukanlah suatu halanga yang besar bagi terciptanya integrasi nasional, jika keberadaan multietnik itu memiliki satu pengikat secara nasional. Tetapi kemudian bagaimana dengan keadaan sekarang ketika dua faktor tadi mulai lenyap dimakan arus globalisasi dan westernisasi ? Sepuluh tahun belakangan banyak sekali timbul gejolak separatism, satu per satu daerah dari ujung timur dan ujung barat mulai ingin melepaskan diri dengan alasan ketidakmerataan ekonomi dan keinginan untuk memperjuangkan ideologi. Dalam kondisi seperti inilah sebuah nasionalisme berubah menjadi etnonasionalisme sebagai akibat bergeraknya tujuan nasional menuju tujuan golongan, hal ini dapat muncul sebagai akumulasi dari perasaan satu rasa satu nasib dalam menerima terpaan dari Jakarta. Pancasila sebagai filsafat bangsa pun tak mampu berbuat banyak ketika dihadapkan pada realita sosial, akibat terlampau jauhnya apa yang menjadi idealita dengan apa yang ada di dalam realita. Memang perlu di sadari bahwa integrasi adalah proses sosiologis dan antropologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam waktu yang singkat.Ia memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik di antara suku bangsa (etnik) yang ada di dalam negara kesatuan Indonesia. Keindonesiaan yang multietnis, heterogen, dan majemuk harus terus dikuatkan eksistensinya melalui implementasi ideologi Pancasila, khususnya dalam bidang pengembangan kesejahteraan sosial dan peningkatan pendidikan. Pendidikan merupakan kunci kemajuan berpikir yang melahirkan intelektualitas, profesionalisme,dan sikap toleransi yang pada gilirannya akan melahirkan warga negara yang tidak saja memiliki kesetiaan lokal (budaya, suku, dll), tapi juga mempunyai rasa nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada perkembangannya, setelah sekian lama hidup dalam kebersamaan imajiner, ternyata tidak juga lepas dari “kolonialisme baru”, yakni kekuatan politik hegemonik dan sentralistik,lalu muncul imaji baru yang lebih menyempit (melokal) dengan etnisitas sebagai basisnya. Pada level inilah elemen-elemen nasionalisme seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial yang mestinya menjadi pengikat mulai pudar. Masalah seperti ini biasanya mulai muncul ketika pengelolaan kekayaan alam tanpa memperhatikan masyarakat lokal menimbulkan kecemburuan sosial yang pada tataran selanjutnya akan terjelma dalam berbagai bentuk perlawanan. Misalnya saja di Aceh, sebagai daerah ujung barat, mereka merasa adanya diskriminasi, karena tidak diberikan porsi ekonomi yang sama dengan daerah lain, terutama daerah – daerah di Jawa, atupun di Papua, wilayah paling timur Indonesia yang memliki gunung emas, tetapi penduduknya bahkan tidak dapat mendekati wilayah itu, karena dijaga oleh TNI yang melindungi kepentingan asing. Dari sekian banyak masalah multikultur ini, hanya satu daerah yang memang berbau SARA yaitu konflik di Ambon, di sana konfliknya bukan lagi mengatasnamakan ekonomi tetapi sudah mengatasnamakan ideologi. Dapat disimpulakan sebenarnya, dari berbagai macam gejolak separatisme di Indonesia, faktor ekonomi-lah yang menjadi alasan utama keinginan untuk memisahkan diri, bukan faktor perbedayaan budaya, karena pada dasarnya perasaan nasionalisme itu masih ada, namun terkalahkan oleh keinginan untuk bertahan hidup, salah satu insting manusia yang terkuat.

  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar